Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
Budaya
cerbung
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
Terlarang
thriller

Labels

MAJU SATU LANGKAH - TIKTOK CHALLENGE

Malam itu hujan baru saja berhenti. Desa kecil berada di pinggiran kota mendadak tenang, hanya derik jangkrik yang saling bersahutan di luar. Di dalam rumah sederhana bohlam menyala kuning ... menggantung miring.

Sriyanah baru selesai membilas cucian orang. Rambutnya basah oleh gerimis, tangan-tangannya gemetar karena dingin. Ia mengambil pekerjaan itu demi anak-anaknya yang kian tumbuh dan tentu saja banyak yang mereka butuh, meski tak seberapa. Cucian orang ia bawa pulang karena kemalaman, akan diantarkan kembali bila sudah ia setrika.

Sementara itu, dua anaknya, yaitu Joko Tole dan Tawang Ningsih tertawa kecil sambil menatap ponsel yang ditukar Waluyo dengan keringat ...  bekerja sebagai kuli bangunan.

Waluyo duduk bersandar pada dinding, mengenakan kaus singlet lusuh dan bersarung. Tubuhnya tidak kurus, tidak juga gemuk, wajahnya keras ditempa cuaca kehidupan yang keras, tetapi sorot matanya tetap lembut. Sejak pulang bekerja tadi sore membuat bahunya pegal terasa seperti patah, ditambah cuaca yang berubah tak menentu menjelang bulan Desember. Namun, melihat anak-anaknya tertawa sambil menatap ponsel petang itu … semua rasa pegal di badan hilang begitu saja.

“Pak, belikan paket data. Sudah habis loh, Pak,” pinta Joko. Waluyo mengingat kejaian tadi pagi sebelum ia berangkat nguli. Dengan mengembuskan napas panjang ia menyerahkan selembar uang yang harusnya ia simpan di kaleng Khong Guan yang sudah ia tulisi dengan spidol “UNTUK MASA DEPAN ANAK-ANAKKU”.

“Pak ‘e, yuk main maju satu langkah kayak di TikTok itu loh!” seru Ningsih membuyarkan lamunan Waluyo.

“Iya, loh, Pak. Lagi tren di TikTok,” sambung Joko.

Waluyo menggeleng. Baginya itu terasa asing. Boro-boro main yang disebutkan anaknya tadi, nama TikTok sendiri ini baru pertama kalian dengar.

“Ayo to, Pak!” tambah Joko sambil menarik tangan bapaknya.

Waluyo tersenyum kecil. “Yo wes … ayo!” katanya mencoba menyenangkan hati anaknya, beranjak lalu membetulkan gulungan sarungnya.

“Mbak, panggil ibu juga. Ajak ibu sekalian biar kita rekam, yo,” imbuh Joko kepada Ningsih.

“Yo, wes. Sek yo, Dik,” balas Ningsih bergegas ke kamar ke belakang.

 

****

 

CERPEN MINGGU: MAJU SATU LANGKAH CHALLENGE


 


Singkat cerita.

Mereka berdiri berbaris di ruang tamu yang sempit itu. Sriyanah di tengah, Ningsih di samping, dan Waluyo di ujung kanan.

Angin malam masuk dari celah dinding, membawa bau tanah basah oleh hujan.

Joko membuka catatan yang berisi pertanyaan. Ia bertugas merekam permainan ini dan kelak akan ia upload ke TikTok demi followersnya.

“Oke, pertanyaan pertama. Siap?” Joko mulai bersiap untuk menekan tombol kamera di layar.

Waluyo, Sriyanah, dan Ningsih mengangguk.

Tampak Waluyo menarik napas dalam-dalam dadanya dirasa mulai sesak.

 

****

 

Joko berdiri paling depan, memegang ponsel. Napasnya sedikit gemetar, antara bersemangat dan gugup.

“Siap, ya … kita mulai!” ucapnya sekali lagi.

Waluyo beserta anak dan istrinya berdiri sejajar.

“Maju satu langkah jika kamu pernah merasa dicintai tanpa syarat,” ucap Joko.

Ningsih dan ibunya melangkah, sementara Waluyo tidak.

“Maju satu langkah jika kamu pernah menahan lapar demi orang lain agar tersenyum.”

Sriyanah maju. Ningsih ragu, tetapi ikut maju satu langkah. Waluyo tidak.

“Maju satu langkah jika kamu pernah ingin dipeluk, tetapi tak ada yang memeluk.”

Semua maju, kecuali Waluyo.

“Maju satu langkah jika kamu pernah merasa hidupmu berat, tetapi tetap bangun setiap pagi.”

Sriyanah maju. Ningsih awalnya ragu karena ia tahu sering bangun kesiangan, tetapi ikut maju selangkah. Waluyo tidak.

Joko terus memberikan pertanyaan dan merekam permainan.

 “Maju satu langkah jika kamu pernah memaafkan tanpa diminta.”

Sriyanah serta Ningsih maju. Waluyo tetap tak bergeming.

“Selanjutnya! Maju satu langkah jika kamu pernah berpura-pura kuat demi keluarga.”

Sriyanah melangkah penuh beban diikuti Ningsih yang lebih dewasa ketimbang adiknya. Waluyo masih diam.

“Maju satu langkah jika kamu pernah kehilangan sesuatu yang sangat kamu sayangi.”

Sriyanah dan Ningsih maju selangkah. Waluyo tidak melangkah, sorot matanya terlihat redup.

“Maju satu langkah jika kamu pernah menahan tangis agar orang lain tidak khawatir.”

Sriyanah yang kini maju selangkah, Ningsih tidak karena ragu pernah mengalaminya. Waluyo masih di tempatnya.

“Maju satu langkah jika kamu pernah takut ditinggalkan.”

Sudah pasti Sriyanah melangkah diikuti anak perempuannya. Waluyo memegang dadanyanya yang mendadak nyeri, tetapi tetap tidak maju.

“Maju satu langkah jika kamu pernah merasa gagal sebagai manusia.”

Sriyanah melangkah dengan napas bergetar, Ningsih tidak. Waluyo diam.

“Maju satu langkah jika kamu pernah berdoa diam-diam untuk seseorang setiap malam.”

Sriyanah maju mantap diikuti Ningsih. Waluyo tidak, masih belum maju selangkah pun.

“Maju satu langkah jika kamu pernah kehilangan harapan, tetapi tetap berjalan.”

Sriyanah melangkah, Ningsih tidak. Waluyo masih di tempatnya, ia jauh tertinggal dari istri dan anak perempuannya.

“Maju satu langkah jika kamu pernah memimpikan hidup yang lebih baik.”

Sudah pasti Sriyanah dan Ningsih maju selangkah. Waluyo  masih diam, seolah tak punya ruang untuk mimpi itu.

“Maju satu langkah jika kamu pernah menyembunyikan rasa sakit.”

Sriyanah melangkah diikuti Ningsih. Waluyo tidak, padahal dialah yang paling sering menyembunyikan rasa itu.

“Maju satu langkah jika kamu pernah berharap seseorang melihat usahamu.”

Ningsih diam, Sriyanah melangkah. Waluyo tidak bergerak, meski di dadanya ingin sekali mengaku iya ... bahwa ia ingin kalau anak dan istrinya tahu betapa berusahanya ia dalam membahagiakan mereka.

“Maju satu langkah jika kamu pernah merasa sendirian, meski tidak benar-benar sendiri.”

Sriyanah dan Ningsih kompak maju. Waluyo masih tetap di titik awal permainan.

“Maju satu langkah jika kamu pernah memaafkan dirimu sendiri.”

Sriyanah maju pelan diikuti Ningsih. Waluyo tidak!

“Maju satu langkah jika kamu pernah berharap hidup memberi kesempatan kedua.”

Hanya Sriyanah yang melangkah, Ningsih tidak. Waluyo masih tidak bergerak sedikit pun.

“Maju satu langkah jika kamu pernah ingin menyerah, tetapi menahan diri demi orang lain.”

Sriyanah melangkah sambil menyeka air mata. Ia mulai merasakan kepedihan di hatinya, terlebih sang suami tak melangkah selangkah pun. Bayang-bayang awal membina rumah tangga, saat didera kesulitan ekonomi, saat rasa sayang dan perhatian mulai goyah oleh badai kehidupan, saat harapan akan hari esok lebih baik buat anak-anak mereka, semua kini terlintas di kepalanya.

Ningsih memilih tidak melangkah. Waluyo hanya berdiri tegak, tak bergeming dari tempatnya.

“Pertanyaan terakhir, ya! Maju satu langkah jika kamu pernah berharap seseorang melihat betapa keras kamu berusaha.”

Tiba-tiba Sriyanah maju cepat, seperti ada beban yang tiba-tiba ia lepaskan, selama ini ia telah berusaha keras demi menambal kebutuhan rumah tangga karena upah dari suaminya terkadang pas-pasan, agar Waluyo tahu itu ...  disusul Ningsih.

Waluyo … tetap diam ... diam yang panjang, diam yang memukul dadanya.

 

****

Hasil akhirnya adalah.

Sriyanah paling depan, napasnya tersengal, matanya terlihat merah, dan tubuhnya mulai bergetar menahan isak. Hidupnya dipenuhi luka yang ia telan dalam-dalam.

Ningsih hanya berdiri bingung melihat ibunya tiba-tiba menutup mata dan terdengar isak tangis yang tak bisa dibendung.

Waluyo sendirian di belakang, tidak berpindah satu langkah pun sejak awal.

“Bu ‘e?” tanya Ningsih menghampiri ibunya yang sesenggukan.

“Bapakmu, Nduk. Bapakmu. Hu hu hu.”

Ningsih lalu berbalik menatap bapaknya yang hanya berdiri diam, matanya ikut basah oleh kesedihan ibunya.

“Pak? Bapak,  kok mboten maju to?  Bapak ndak pernah ngerasain semuanya itu?” tanya Ningsih seraya mengusap kedua sudut matanya yang menghangat.

Waluyo perlahan mendongak. “Ah.”

Dengan suara yang pecah, Waluyo menjawab, “Bapak gak maju kar ... karena bapak gak pernah dapat semua itu.”

Kamera masih On dan Joko terus merekam ... menahan napas mendengar jawaban sang bapak. Pantas saja ia tidak melangkah maju sama sekali.

Waluyo  melanjutkan, suaranya bergetar, “Semua pertanyaan yang membuat kalian maju itu bapak cuma pernah melakukan ... melakukan untuk kalian, bukan merasakan.”

Sriyanah kian menutup mulutnya, air mata jatuh deras.

“Bapak cuma tahu kerja, bapak cuma tahu ngasih, bapak cuma tahu berkorban demi kalian,” kata Waluyo dengan suara berat.

“Bapak gak pernah merasakan apa yang ditanyakan seperti permainan tadi … kabeh gak pernah ada buat bapak, Nduk.”

Mendengarnya, Ningsih menangis keras lalu berlari dan memeluk kaki bapaknya. “Hu hu hu. Maafkan Ningsih, Pak. Hu hu hu. Maafkan Ningsih yang telah banyak menuntut bapak. Hu hu hu.”

“Gak popo ... tidak apa-apa, Nduk. Bapak pasti akan mengabulkan semua keinginan kalian ... semampu upaya bapak untuk mewujudkannya,” jawab Waluyo, matanya mulai berkaca-kaca.

Tubuh Sriyanah bergetar hebat, meskipun mulutnya sudah ia tutup dengan kedua tangan, tetapi nyatanya tangisnya pecah ... kemudian tergugu. “Hu hu hu.”

Waluyo mencoba mengangkat tubuh anak perempuannya yang masih menangis di kakinya.

Dengan suara serak oleh tangis Sriyanah akhirnya berkata. “Kalau ... kalau ... kalau pertanyaannya tentang siapa yang paling banyak berkorban ... tentu bapakmu pasti paling depan, Nduk. Hu hu hu.” Kian tak terbendung tangisnya.

Sriyanah menambahkan dengan suara parau, “Bahkan mungkin … terlalu jauh sampai kita tidak mungkin bisa ngejarnya.”

Jatuh menetes air mata Joko, tangannya bergetar. Ia tahu, ponsel yang ia pegang adalah pemberian bapaknya setelah ia merengek-rengek minta dibelikan. “Nanti kalau uang bapak sudah terkumpul, bapak pasti belikan, Le.”

“Tidak! Joko maunya sekarang, Pak. Sekarang! Hu hu hu.”

“Iya, nanti bapak usahakan yo, Cah Bagus.” Waluyo lalu memeluk anak lelakinya, berusaha meredam tangis dan menenangkan hati anaknya kala itu.

Joko yang berdiri berderai air mata masih ingat itu, bahkan kejadian itu hanya seminggu, sekarang ia dengan hati gembira telah memberi pertanyaan yang melukai hati bapaknya dan menancapkan pisau ke dadanya sendiri.

“Nduk, Le,” kata Sriyanah masih berdiri membelakangi semuanya.

“Asal kalian tahu, bapakmu yang tidak pernah maju satu langkah pun adalah orang yang sudah menempuh ribuan langkah untuk kita. Apakah kalian menyadarinya? Hu hu hu.” imbuh Sriyanah dengan diakhiri isak tangis.

Mendengarnya, Waluyo lantas terbatuk-batuk. “Buhuk! Buhuk!”

Waluyo berusaha mengembangkan senyum tipis, senyum seorang bapak yang jarang mengeluh, jarang meminta ... jarang terlihat oleh dunia ... dunia yang sering mempermainkannya dengan tuntutan kehidupan. Telapak tangannya ia sembunyikan, lalu ke kamar dan tak lama kemudian ia kembali dengan kaleng biskuit di pelukan.

 

****

Waluyo ingat betul kalau ia harus menyisihkan uang diam-diam di dalam kaleng biskuit yang sudah ia tulisi, meskipun hanya recehan ... demi sakit yang ia sembunyikan dari anak dan istrinya.

Uang itu tabungannya, seharusnya untuk operasi paru-paru yang semakin parah.

Waluyo akhir-akhir ini sering batuk darah di tempat kerja, bahkan pernah pingsan, tetapi semua ia sembunyikan karena tak ingin anak dan istrinya cemas.

Kembali terlintas, “Pak, belikan paket data. Sudah habis loh, Pak,” pinta Joko.

Waluyo mengingat kejaian tadi pagi sebelum ia berangkat nguli. Dengan mengembuskan napas panjang ia menyerahkan selembar uang yang harusnya ia tabung di kaleng biskuit untuk beli obat, tetapi ia tulisi dengan spidol “UNTUK MASA DEPAN ANAK-ANAKKU”.

Bagi Waluyo, melihat anak-anaknya tertawa di depan ponsel yang belum ia bayar lunas adalah obat penyakitnya.

Sebenarnya Waluyo tak ingin menggunakan uang yang sudah ia sisihkan untuk keperluan lain, selain kesehatannya. Namun, ia pasti tak bakal sanggup melihat tawa anak-anaknya hilang.

Tiba-tiba dadanya bagai diremas-remas.”Buhuk! Buhuk!”

“Pak!” seru Sriyanah lalu berlari ke arah Waluyo yang tubuhnya sudah limbung dan terjatuh bersamaan kaleng biskuit.

Bruk!

Krompang!

“Bapak!” seru Ningsih dan Joko.

Layar ponsel masih On ... merekam.

“Pak! Bapak!” seru Sriyanah saat wajah Waluyo pucat tanpa membuka mata. Dari sudut bibirnya mengalir darah kehitaman, bercak darah ada juga di telapak tangan.

Joko yang tak sadar untuk mematikan kamera melihat banyak secarik uang kertas seribuan berhamburan dari kaleng biskuit yang tutupnya sudah terbuka.

Mata kamera ikut mendekat dan merekam tulisan spidol di kaleng saat Joko melihat secarik kertas di antara uang seribuan yang berhamburan.

Dibukanya perlahan. Jelas Joko bisa membaca tulisan itu. “Jika suatu saat bapak jatuh ... jangan salahkan diri kalian. Kalian adalah mimpi yang bapak pilih untuk dijaga. Kalau uang ini tidak cukup untuk menyelamatkan nyawa bapak, setidaknya itu cukup untuk membeli tawa kalian dan itu jauh lebih berharga dari apa pun.”

Joko berteriak di antara tangis ibu dan kakak perempuannya, meremas kuat-kuat secarik kertas itu, “Bapakkkkk!” END

 

Semoga terhibur ya, Lur. Itu tadi pakde suguhkan cerita dari koleksi cerpen-cerpen pakde. Daripada mengendap di folder ... ketumpuk sama cerita yang baru, mending pakde post. Ya, to, Lur?

Mohon maaf, Dulur. Cerbung Abdi Ndoro Soemitro izin tidak tayang minggu ini ... pakde janji akan mempublikasikan episode 3 minggu depan. Ada beberapa alur yang harus pakde ubah dan sayangnya pakde belum sempat revisi. Pinginnya malam buka laptop lalu gercep revisi, tetapi kaki pakde sedang tidak baik-baik saja ... linu-linu ... asam urat kambuh, Lur. Sungguh menyiksa, membuat hilang fokus dalam menulis. Ah, maafkan pakdemu ini. 😥

Terselip doa untukmu, Dulur. Semoga kamu sehat selalu, dilancarkan segala urusan dalam meniti kehidupan ini. Amin. Jangan lupa sedekah kalau ada rezeki ... sedekah sama yang menulis maksudnya. Jiaaaa ....😁 Ah! Itu juga ada to fitur ‘kotak amalnya’ untuk sedekah.

Bercanda ya, Lur. Guyon! Pakde suka guyon kok biar awet nom.

Tansah sehat-sehat nggeh, Dulur.

Salam.

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search