MAJU SATU LANGKAH - TIKTOK CHALLENGE
Malam itu hujan baru saja berhenti. Desa kecil berada di pinggiran kota mendadak tenang, hanya derik jangkrik yang saling bersahutan di luar. Di dalam rumah sederhana bohlam menyala kuning ... menggantung miring.
Sriyanah
baru selesai membilas cucian orang. Rambutnya basah oleh gerimis,
tangan-tangannya gemetar karena dingin. Ia mengambil pekerjaan itu demi
anak-anaknya yang kian tumbuh dan tentu saja banyak yang mereka butuh, meski
tak seberapa. Cucian orang ia bawa pulang karena kemalaman, akan diantarkan
kembali bila sudah ia setrika.
Sementara
itu, dua anaknya, yaitu Joko Tole dan Tawang Ningsih tertawa kecil sambil
menatap ponsel yang ditukar Waluyo dengan keringat ... bekerja sebagai kuli bangunan.
Waluyo duduk
bersandar pada dinding, mengenakan kaus singlet lusuh dan bersarung. Tubuhnya tidak
kurus, tidak juga gemuk, wajahnya keras ditempa cuaca kehidupan yang keras, tetapi
sorot matanya tetap lembut. Sejak pulang bekerja tadi sore membuat bahunya pegal
terasa seperti patah, ditambah cuaca yang berubah tak menentu menjelang bulan
Desember. Namun, melihat anak-anaknya tertawa sambil menatap ponsel petang itu …
semua rasa pegal di badan hilang begitu saja.
“Pak,
belikan paket data. Sudah habis loh, Pak,” pinta Joko. Waluyo mengingat kejaian
tadi pagi sebelum ia berangkat nguli. Dengan mengembuskan napas panjang ia menyerahkan
selembar uang yang harusnya ia simpan di kaleng Khong Guan yang sudah ia tulisi
dengan spidol “UNTUK MASA DEPAN ANAK-ANAKKU”.
“Pak ‘e, yuk
main maju satu langkah kayak di TikTok itu loh!” seru Ningsih membuyarkan
lamunan Waluyo.
“Iya, loh,
Pak. Lagi tren di TikTok,” sambung Joko.
Waluyo menggeleng.
Baginya itu terasa asing. Boro-boro main yang disebutkan anaknya tadi, nama TikTok
sendiri ini baru pertama kalian dengar.
“Ayo to,
Pak!” tambah Joko sambil menarik tangan bapaknya.
Waluyo
tersenyum kecil. “Yo wes … ayo!” katanya mencoba menyenangkan hati anaknya,
beranjak lalu membetulkan gulungan sarungnya.
“Mbak,
panggil ibu juga. Ajak ibu sekalian biar kita rekam, yo,” imbuh Joko kepada Ningsih.
“Yo, wes. Sek
yo, Dik,” balas Ningsih bergegas ke kamar ke belakang.
****
CERPEN MINGGU: MAJU SATU LANGKAH
CHALLENGE
Singkat
cerita.
Mereka
berdiri berbaris di ruang tamu yang sempit itu. Sriyanah di tengah, Ningsih di
samping, dan Waluyo di ujung kanan.
Angin malam
masuk dari celah dinding, membawa bau tanah basah oleh hujan.
Joko membuka
catatan yang berisi pertanyaan. Ia bertugas merekam permainan ini dan kelak
akan ia upload ke TikTok demi followersnya.
“Oke,
pertanyaan pertama. Siap?” Joko mulai bersiap untuk menekan tombol kamera di
layar.
Waluyo, Sriyanah,
dan Ningsih mengangguk.
Tampak Waluyo
menarik napas dalam-dalam dadanya dirasa mulai sesak.
****
Joko berdiri
paling depan, memegang ponsel. Napasnya sedikit gemetar, antara bersemangat dan
gugup.
“Siap, ya …
kita mulai!” ucapnya sekali lagi.
Waluyo
beserta anak dan istrinya berdiri sejajar.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah merasa dicintai tanpa syarat,” ucap Joko.
Ningsih dan ibunya
melangkah, sementara Waluyo tidak.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah menahan lapar demi orang lain agar tersenyum.”
Sriyanah
maju. Ningsih ragu, tetapi ikut maju satu langkah. Waluyo tidak.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah ingin dipeluk, tetapi tak ada yang memeluk.”
Semua maju,
kecuali Waluyo.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah merasa hidupmu berat, tetapi tetap bangun setiap
pagi.”
Sriyanah
maju. Ningsih awalnya ragu karena ia tahu sering bangun kesiangan, tetapi ikut
maju selangkah. Waluyo tidak.
Joko terus
memberikan pertanyaan dan merekam permainan.
“Maju satu langkah jika kamu pernah memaafkan
tanpa diminta.”
Sriyanah
serta Ningsih maju. Waluyo tetap tak bergeming.
“Selanjutnya!
Maju satu langkah jika kamu pernah berpura-pura kuat demi keluarga.”
Sriyanah
melangkah penuh beban diikuti Ningsih yang lebih dewasa ketimbang adiknya. Waluyo
masih diam.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah kehilangan sesuatu yang sangat kamu sayangi.”
Sriyanah dan
Ningsih maju selangkah. Waluyo tidak melangkah, sorot matanya terlihat redup.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah menahan tangis agar orang lain tidak khawatir.”
Sriyanah
yang kini maju selangkah, Ningsih tidak karena ragu pernah mengalaminya. Waluyo
masih di tempatnya.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah takut ditinggalkan.”
Sudah pasti Sriyanah
melangkah diikuti anak perempuannya. Waluyo memegang dadanyanya yang mendadak nyeri,
tetapi tetap tidak maju.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah merasa gagal sebagai manusia.”
Sriyanah
melangkah dengan napas bergetar, Ningsih tidak. Waluyo diam.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah berdoa diam-diam untuk seseorang setiap malam.”
Sriyanah
maju mantap diikuti Ningsih. Waluyo tidak, masih belum maju selangkah pun.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah kehilangan harapan, tetapi tetap berjalan.”
Sriyanah
melangkah, Ningsih tidak. Waluyo masih di tempatnya, ia jauh tertinggal dari
istri dan anak perempuannya.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah memimpikan hidup yang lebih baik.”
Sudah pasti Sriyanah
dan Ningsih maju selangkah. Waluyo masih
diam, seolah tak punya ruang untuk mimpi itu.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah menyembunyikan rasa sakit.”
Sriyanah
melangkah diikuti Ningsih. Waluyo tidak, padahal dialah yang paling sering
menyembunyikan rasa itu.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah berharap seseorang melihat usahamu.”
Ningsih diam,
Sriyanah melangkah. Waluyo tidak bergerak, meski di dadanya ingin sekali
mengaku iya ... bahwa ia ingin kalau anak dan istrinya tahu betapa berusahanya
ia dalam membahagiakan mereka.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah merasa sendirian, meski tidak benar-benar
sendiri.”
Sriyanah dan
Ningsih kompak maju. Waluyo masih tetap di titik awal permainan.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah memaafkan dirimu sendiri.”
Sriyanah maju
pelan diikuti Ningsih. Waluyo tidak!
“Maju
satu langkah jika kamu pernah berharap hidup memberi kesempatan kedua.”
Hanya Sriyanah
yang melangkah, Ningsih tidak. Waluyo masih tidak bergerak sedikit pun.
“Maju
satu langkah jika kamu pernah ingin menyerah, tetapi menahan diri demi orang
lain.”
Sriyanah
melangkah sambil menyeka air mata. Ia mulai merasakan kepedihan di hatinya,
terlebih sang suami tak melangkah selangkah pun. Bayang-bayang awal membina
rumah tangga, saat didera kesulitan ekonomi, saat rasa sayang dan perhatian
mulai goyah oleh badai kehidupan, saat harapan akan hari esok lebih baik buat
anak-anak mereka, semua kini terlintas di kepalanya.
Ningsih memilih
tidak melangkah. Waluyo hanya berdiri tegak, tak bergeming dari tempatnya.
“Pertanyaan
terakhir, ya! Maju satu langkah jika kamu pernah berharap seseorang melihat
betapa keras kamu berusaha.”
Tiba-tiba Sriyanah
maju cepat, seperti ada beban yang tiba-tiba ia lepaskan, selama ini ia telah
berusaha keras demi menambal kebutuhan rumah tangga karena upah dari suaminya
terkadang pas-pasan, agar Waluyo tahu itu ... disusul Ningsih.
Waluyo …
tetap diam ... diam yang panjang, diam yang memukul dadanya.
****
Hasil
akhirnya adalah.
Sriyanah
paling depan, napasnya tersengal, matanya terlihat merah, dan tubuhnya mulai
bergetar menahan isak. Hidupnya dipenuhi luka yang ia telan dalam-dalam.
Ningsih hanya
berdiri bingung melihat ibunya tiba-tiba menutup mata dan terdengar isak tangis
yang tak bisa dibendung.
Waluyo sendirian
di belakang, tidak berpindah satu langkah pun sejak awal.
“Bu ‘e?”
tanya Ningsih menghampiri ibunya yang sesenggukan.
“Bapakmu,
Nduk. Bapakmu. Hu hu hu.”
Ningsih lalu
berbalik menatap bapaknya yang hanya berdiri diam, matanya ikut basah oleh
kesedihan ibunya.
“Pak? Bapak,
kok mboten maju to? Bapak ndak pernah ngerasain semuanya itu?”
tanya Ningsih seraya mengusap kedua sudut matanya yang menghangat.
Waluyo
perlahan mendongak. “Ah.”
Dengan suara
yang pecah, Waluyo menjawab, “Bapak gak maju kar ... karena bapak gak pernah
dapat semua itu.”
Kamera masih
On dan Joko terus merekam ... menahan napas mendengar jawaban sang bapak.
Pantas saja ia tidak melangkah maju sama sekali.
Waluyo melanjutkan, suaranya bergetar, “Semua pertanyaan
yang membuat kalian maju itu bapak cuma pernah melakukan ... melakukan untuk
kalian, bukan merasakan.”
Sriyanah
kian menutup mulutnya, air mata jatuh deras.
“Bapak cuma
tahu kerja, bapak cuma tahu ngasih, bapak cuma tahu berkorban demi kalian,”
kata Waluyo dengan suara berat.
“Bapak gak
pernah merasakan apa yang ditanyakan seperti permainan tadi … kabeh gak pernah
ada buat bapak, Nduk.”
Mendengarnya,
Ningsih menangis keras lalu berlari dan memeluk kaki bapaknya. “Hu hu hu.
Maafkan Ningsih, Pak. Hu hu hu. Maafkan Ningsih yang telah banyak menuntut
bapak. Hu hu hu.”
“Gak popo
... tidak apa-apa, Nduk. Bapak pasti akan mengabulkan semua keinginan kalian
... semampu upaya bapak untuk mewujudkannya,” jawab Waluyo, matanya mulai
berkaca-kaca.
Tubuh Sriyanah
bergetar hebat, meskipun mulutnya sudah ia tutup dengan kedua tangan, tetapi
nyatanya tangisnya pecah ... kemudian tergugu. “Hu hu hu.”
Waluyo
mencoba mengangkat tubuh anak perempuannya yang masih menangis di kakinya.
Dengan suara
serak oleh tangis Sriyanah akhirnya berkata. “Kalau ... kalau ... kalau pertanyaannya
tentang siapa yang paling banyak berkorban ... tentu bapakmu pasti paling depan,
Nduk. Hu hu hu.” Kian tak terbendung tangisnya.
Sriyanah menambahkan
dengan suara parau, “Bahkan mungkin … terlalu jauh sampai kita tidak mungkin
bisa ngejarnya.”
Jatuh
menetes air mata Joko, tangannya bergetar. Ia tahu, ponsel yang ia pegang
adalah pemberian bapaknya setelah ia merengek-rengek minta dibelikan. “Nanti
kalau uang bapak sudah terkumpul, bapak pasti belikan, Le.”
“Tidak! Joko
maunya sekarang, Pak. Sekarang! Hu hu hu.”
“Iya, nanti
bapak usahakan yo, Cah Bagus.” Waluyo lalu memeluk anak lelakinya, berusaha
meredam tangis dan menenangkan hati anaknya kala itu.
Joko yang
berdiri berderai air mata masih ingat itu, bahkan kejadian itu hanya seminggu,
sekarang ia dengan hati gembira telah memberi pertanyaan yang melukai hati
bapaknya dan menancapkan pisau ke dadanya sendiri.
“Nduk, Le,” kata
Sriyanah masih berdiri membelakangi semuanya.
“Asal kalian
tahu, bapakmu yang tidak pernah maju satu langkah pun adalah orang yang sudah
menempuh ribuan langkah untuk kita. Apakah kalian menyadarinya? Hu hu hu.” imbuh
Sriyanah dengan diakhiri isak tangis.
Mendengarnya,
Waluyo lantas terbatuk-batuk. “Buhuk! Buhuk!”
Waluyo
berusaha mengembangkan senyum tipis, senyum seorang bapak yang jarang mengeluh,
jarang meminta ... jarang terlihat oleh dunia ... dunia yang sering mempermainkannya
dengan tuntutan kehidupan. Telapak tangannya ia sembunyikan, lalu ke kamar dan
tak lama kemudian ia kembali dengan kaleng biskuit di pelukan.
****
Waluyo ingat
betul kalau ia harus menyisihkan uang diam-diam di dalam kaleng biskuit yang
sudah ia tulisi, meskipun hanya recehan ... demi sakit yang ia sembunyikan dari
anak dan istrinya.
Uang itu
tabungannya, seharusnya untuk operasi paru-paru yang semakin parah.
Waluyo
akhir-akhir ini sering batuk darah di tempat kerja, bahkan pernah pingsan,
tetapi semua ia sembunyikan karena tak ingin anak dan istrinya cemas.
Kembali terlintas,
“Pak, belikan paket data. Sudah habis loh, Pak,” pinta Joko.
Waluyo
mengingat kejaian tadi pagi sebelum ia berangkat nguli. Dengan mengembuskan
napas panjang ia menyerahkan selembar uang yang harusnya ia tabung di kaleng
biskuit untuk beli obat, tetapi ia tulisi dengan spidol “UNTUK MASA DEPAN
ANAK-ANAKKU”.
Bagi Waluyo,
melihat anak-anaknya tertawa di depan ponsel yang belum ia bayar lunas adalah
obat penyakitnya.
Sebenarnya Waluyo
tak ingin menggunakan uang yang sudah ia sisihkan untuk keperluan lain, selain
kesehatannya. Namun, ia pasti tak bakal sanggup melihat tawa anak-anaknya
hilang.
Tiba-tiba
dadanya bagai diremas-remas.”Buhuk! Buhuk!”
“Pak!” seru Sriyanah
lalu berlari ke arah Waluyo yang tubuhnya sudah limbung dan terjatuh bersamaan
kaleng biskuit.
Bruk!
Krompang!
“Bapak!”
seru Ningsih dan Joko.
Layar ponsel
masih On ... merekam.
“Pak! Bapak!”
seru Sriyanah saat wajah Waluyo pucat tanpa membuka mata. Dari sudut bibirnya mengalir
darah kehitaman, bercak darah ada juga di telapak tangan.
Joko yang
tak sadar untuk mematikan kamera melihat banyak secarik uang kertas seribuan berhamburan
dari kaleng biskuit yang tutupnya sudah terbuka.
Mata kamera
ikut mendekat dan merekam tulisan spidol di kaleng saat Joko melihat secarik
kertas di antara uang seribuan yang berhamburan.
Dibukanya
perlahan. Jelas Joko bisa membaca tulisan itu. “Jika suatu saat bapak jatuh ...
jangan salahkan diri kalian. Kalian adalah mimpi yang bapak pilih untuk dijaga.
Kalau uang ini tidak cukup untuk menyelamatkan nyawa bapak, setidaknya itu
cukup untuk membeli tawa kalian dan itu jauh lebih berharga dari apa pun.”
Joko berteriak
di antara tangis ibu dan kakak perempuannya, meremas kuat-kuat secarik kertas
itu, “Bapakkkkk!” END
Semoga
terhibur ya, Lur. Itu tadi pakde suguhkan cerita dari koleksi cerpen-cerpen
pakde. Daripada mengendap di folder ... ketumpuk sama cerita yang baru, mending
pakde post. Ya, to, Lur?
Mohon maaf,
Dulur. Cerbung Abdi Ndoro Soemitro izin tidak tayang minggu ini ... pakde janji
akan mempublikasikan episode 3 minggu depan. Ada beberapa alur yang harus pakde
ubah dan sayangnya pakde belum sempat revisi. Pinginnya malam buka laptop lalu
gercep revisi, tetapi kaki pakde sedang tidak baik-baik saja ... linu-linu ...
asam urat kambuh, Lur. Sungguh menyiksa, membuat hilang fokus dalam menulis.
Ah, maafkan pakdemu ini. 😥
Terselip doa
untukmu, Dulur. Semoga kamu sehat selalu, dilancarkan segala urusan dalam
meniti kehidupan ini. Amin. Jangan lupa sedekah kalau ada rezeki ... sedekah
sama yang menulis maksudnya. Jiaaaa ....😁 Ah! Itu juga ada to fitur ‘kotak amalnya’ untuk sedekah.
Bercanda ya,
Lur. Guyon! Pakde suka guyon kok biar awet nom.
Tansah
sehat-sehat nggeh, Dulur.
Salam.
Dukung Pakde Noto di Trakteer

No comments:
Post a Comment